Direktur LPPOM
MUI, Lukmanul Hakim, menjelaskan bahwa MUI merupakan satu-satunya lembaga yang
menetapkan kehalalan suatu produk melalui gabungan dua pendekatan, yakni sains
dan syariah. Dari sisi sains, dilakukan oleh LPPOM MUI, dan sisi syariah
ditetapkan melalui Komisi Fatwa MUI.
Berdasarkan UU JPH
dan KMA982, LPPOM MUI mempunyai peran sebagai LPH yang melakukan pemeriksaan
terhadap kehalalan suatu produk dari sisi ilmiah. Hasil pemeriksaan tersebut,
kemudian dilaporkan pada rapat auditor untuk dievaluasi apakah ada kontaminasi
bahan non halal atau najis.
“Jika tidak, maka
hasil tersebut kemudian dilaporkan pada sidang Komisi Fatwa MUI untuk
ditentukan status dari produk tersebut apakah halal sesuai syariat Islam atau
tidak. Komisi Fatwa MUI inilah yang menentukan status hukum pada produk
tersebut,” kata Lukmanul dalam keterangannya, Selasa (8/9).
Pendekatan Ilmiah
Lukman menjelaskan, pemeriksaan ilmiah (sains) LPPOM MUI dilakukan oleh
auditor-auditor halal yang profesional dan terpercaya. Hingga Agustus 2020,
LPPOM MUI diperkuat lebih dari 1.000 auditor halal dari berbagai latar belakang
pendidikan. Di antaranya teknologi pangan, kimia, biokimia, teknologi industri,
biologi, dan farmasi.
Adapun profesi
auditor halal LPPOM MUI berasal dari kalangan profesional maupun civitas
akademika yang telah berpengalaman dan tersebar di berbagai tempat, baik di
LPPOM MUI pusat, maupun di 38 kantor perwakilan yang terdiri dari 34 provinsi
di Indonesia dan 4 kantor di China, Korea, dan Taiwan. Bahkan, lebih dari 124
auditor telah mempunyai Sertifikat Komptetensi Kerja Profesi Auditor Halal dari
Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
Pendekatan Syariah
Sementara itu,
dari sisi syariah, ketetapan hukum kehalalan dilakukan oleh Komisi Fatwa MUI.
Fatwa merupakan istinbath hukum kontemporer dalam ranah agama. Yakni
fatwa sebagai hasil ijtihad para ulama yang ahli atas fenomena hukum yang tidak
dijelaskan di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits. Digali berdasarkan kedua sumber
utama syariah tersebut, serta ijma’ ulama salafus-sholih.
Menurut Wakil
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa KH. Sholahuddin
Al Aiyub, halal termasuk dalam terminologi agama dan hukum. Penetapan suatu
produk halal atau haram, hanya bisa dilakukan oleh orang yang berkompeten.
Dalam sertifikasi halal, kewenangan penetapan hukum kehalalan produk atau fatwa
harus diberikan kepada lembaga yang kompeten, yakni Komisi Fatwa MUI.
“Fiqih yang
digunakan adalah fiqih qadha’i yang bersifat final dan binding serta sudah pada
level aturan negara. Sehingga, sudah tidak dibolehkan adanya perbedaan
pendapat. Artinya, kewenangan tidak bisa dibagikan kepada siapa pun. Meski
acuannya sama, namun kalau penetapan fatwanya berbeda itu juga tidak bisa,” ujarnya.
Ketetapan Halal
MUI yang dikeluarkan oleh MUI merupakan Fatwa tertulis yang dikeluarkan oleh
MUI, melalui keputusan sidang Komisi Fatwa, yang menyatakan kehalalan suatu
produk, berdasarkan proses audit yang dilakukan oleh LPPOM MUI.